Laode Syarif: Kearifan Hakim MK yang Bisa Kembalikan Fitrah UU KPK
Laode Syarif: Kearifan Hakim MK yang Bisa Kembalikan Fitrah UU KPK
Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menaruh harapan besar kepada Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menangani uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Direktur Eksekutif Kemitraan itu juga mengatakan hanya kearifan Hakim Konstitusi yang dapat mengembalikan UU KPK kembali pada fitrahnya. "Kita sangat berharap kearifan keindependenan kepintaran dan keimanan hakim MK, agar UU KPK itu betul betul dikembalikan sebagaimana adanya," kata Syarif dalam diskusi daring, Senin (10/8/2020).
Diketahui, Syarif bersama pimpinan KPK jilid IV Agus Rahardjo dan Saut Situmorang serta sejumlah aktivis antikorupsi mengajukan permohonan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke MK. Mereka menilai proses perubahan kedua UU KPK tidak seusai dengan peraturan pembentukan undang undang dan bertentangan dengan UUD 1945. Syarif menyatakan, hasil penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) semakin mempertegas berbagai persoalan terkait UU KPK baik dari sisi formil maupun materiil.
"Dari segi substansi sangat melemahkan oleh karenanya maka kita sangat berharap kepada MK karena saya termasuk pemohon untuk menguji apakah prses pembentukan UU KPK itu benar atau tidak jika dilihat dari aturan nasional di Indonesia," katanya. Syarif menegaskan, pemerintah maupun DPR tidak pernah melibatkan publik dalam proses revisi UU KPK hingga lahir UU Nomor 19 Tahun 2019. Tak hanya itulah, kata Syarif, UU tersebut terbentuk tanpa didasari naskah akademik.
Bahkan KPK sebagai lembaga yang akan melaksanakan UU tersebut tak pernah dilibatkan. KPK, katanya, tidak pernah menerima draf rancangan, DIM (daftar inventaris masalah) maupun surat resmi tentang pembahasan revisi UU. Untuk itu, proses pembentukan UU Nomor 19/2019 dinilai telah melanggaran aturan bernegara.
"Ini mengukuhkan bahwa DPR dan pemerintah tidak ikuti rambu yang jadi patokan berbangsa bernegara. dan pejabat yang tidak mengikuti ya bisa dikategorikan melanggar kalau melanggar harus lawan," tegasnya.