Ketika Cucu Sri Sultan Resah
Ketika Cucu Sri Sultan Resah
Cucu Sri Sultan Hamengku Buwono X, Raden Mas Gustilantika Marrel Suryokusumo resah dengan kelestarian alam di lereng Gunung Merapi. Marrel yang merupakan cucu paling tua dari Sultan Yogyakarta itu mengaku jika tidak diperhatikan, kelestarian lingkungan di lereng Merapi akan merugikan masyarakat di masa yang akan datang. Sebagai kerabat keraton, Marrel mengemban tugas untuk ikut memikirkan kelangsungan hidup masyarakat yang bermukim di sekitar Merapi.
Hal itu membuat dia harus turun langsung melihat kondisi lingkungan dan membangun simpul komunikasi dengan kelompok kelompok masyarakat. "Ada hajat hidup warga masyarakat yang saling berkait, misalnya persoalan air," kata Marrel saat ditemui saat menjajal lintasan All Terrain Vehicle (ATV) Watugede, Bronggang, Argomulyo, Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Sabtu (5/9/2020). Marrel menyempatkan diri untuk mengunjungi dan berdiskusi dengan kalangan usaha untuk mencari formulasi agar kegiatan ekonomi tidak sampai berdampak buruk pada lingkungan.
Di ATV Watugede, Marrel menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan Suhartono Kecik, pengelola destinasi petualangan itu untuk menggali data. Mengelola lahan seluas 5 hektare di antara dua bendung sabo penahan lahar dingin, Suhartono bersama masyarakat sekitar mencoba untuk tetap berpenghasilan, tanpa mengubah kontur, elevasi serta fungsi bantaran sungai Gendol dan daerah tangkapan airnya. Mereka memilih memanfaatkan bantaran sungai untuk lintasan ATV, daripada menambang pasir dan batunya, meskipun secara ekonomi hasilnya tidak terlalu sebanding.
"Ternyata bisa, industri jasa wisata berdampingan dan mempertimbangkan fungsi ekologis. Jadi tidak mengancam pasokan air untuk petani di bawahnya," ujar Marrel. Selain mencoba lintasan, pehobi speed offroad ini juga didaulat untuk menanam pohon jenis beringin di bantaran sungai Gendol. Marrel mengaku bersedia untuk menjadi bagian dari kerja Suhartono dan Komunitas Pagar Merapi yang berupaya menanami lahan kritis di lereng Merapi. Sekitar 1200 pohon beringin disiapkan oleh komunitas untuk ditanam secara berkala di beberapa lokasi rawan.
"Selain akarnya dapat menahan erosi, pohon beringin juga memiliki kemampuan menyerap air yang baik," kata Suhartono. Persoalan air menjadi fokus Marrel. Pasalnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) belum lama ini merilis hasil penelitian yang menyebut Pulau Jawa diperkirakan akan kehilangan air pada tahun 2040. Padahal, Indonesia merupakan salah satu negara terkaya dalam sumber daya air karena menyimpan 6% potensi air dunia.
Berdasarkan penelitian para ahli LIPI yang dipublikasikan dalam kajian lingkungan hidup strategis dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bappenas tahun 2019 itu, krisis air dan bencana kekeringan mengancam dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi itu dipicu perubahan iklim, pertambahan penduduk hingga alih fungsi lahan. Menurut Marrel, lereng Merapi pada dasarnya adalah daerah tangkapan air (water catchment area) yang menyangga pasokan hampir seluruh sungai di wilayah Yogyakarta. Oleh karenanya, putra tunggal Gusti Ratu Condrokirono itu merasa berkepentingan untuk memastikan langsung adanya upaya yang dilakukan untuk pencegahan bencana kekeringan.
Sarjana jurusan hubungan internasional dan politik dari Inggris itu menyebut, pasokan air dari lereng Merapi cukup vital bagi kelangsungan hidup warga Yogyakarta. Persoalan produksi pangan di Yogyakarta memiliki persoalan yang cukup pelik. Lahan pertanian di seluruh provinsi seluas 100 ribu hektare pada tahun 2016 dan terus berkurang akibat gerusan peruntukkan lain, pasokan air yang tidak stabil dan pertambahan penduduk menjadi benang kusut yang harus diurai.
"Selain itu, produktivitas juga tidak semua optimal karena kualitas lahan yang tidak semuanya baik," katanya. Untuk memenuhi kebutuhan, Yogyakarta harus melakukan distribusi silang dengan memasok kebutuhan pangan ke kabupaten yang minus dari kabupaten lain yang mengalami surplus. Langkah itu diakui Marrel tidak dapat dilakukan terus menerus karena cepatnya laju pertambahan penduduk, terutama akibat urbanisasi spasial di wilayah pinggiran Yogyakarta.
Selain mengunjungi ATV Watugede, Marrel juga menyempatkan diri bertemu langsung dengan kelompok masyarakat di Kaliurang Timur. Di wilayah tersebut, Marrel diajak untuk mengunjungi program rintisan pengelolaan pariwisata tanpa mengubah fungsi lahan. Agus Kampala, pegiat kultivasi kopi di wilayah Kaliurang Timur dalam kesempatan berdialog menyampaikan, warga di lingkungan tempat tinggalnya memang berkeinginan untuk turut ambil bagian dalam kegiatan wisata.
Namun sebagai masyarakat petani dan peternak, Agus menyebut warga tidak ingin lahan mereka berubah menjadi villa, hotel dan bangunan penunjang wisata lain. Jika harus membangun fasilitas akomodasi, warga Kaliurang Timur memilih untuk membuatnya secara semi permanen, dengan bahan yang tidak merusak fungsi kebun mereka. Merespon hal itu, Marrel menyatakan dukungannya kepada konsep kemasan wisata tersebut. Karena selain tidak merusak lingkungan, kemasan wisata itu juga dapat dijadikan contoh bagi masyarakat di daerah lain di Yogyakarta bagaimana cara berdampingan dengan alam dan tetap berpenghasilan.
"Ide, inovasi dan usulan pengelolaan potensi tanpa merusak ini menjadi masukan buat saya. Terimakasih, karena kalau tidak disampaikan langsung begini, keraton sering hanya dapat kabar yang baik baik saja," ungkap Marrel. Menutup pertemuan, Marrel berpesan agar masyarakat baik di Kaliurang Timur maupun Bronggang tetap berupaya menjaga lingkungan lereng Merapi. Karena, selain menopang ketersediaan air yang penting bagi pertanian dan sektor lain di Yogyakarta, Merapi juga memiliki fungsi kultural karena sebagai kota budaya, berbagai ritual keraton kerap digelar di gunung itu.